Logo Header

Covid-19: Perang Manusia dan Manusia Berperang

Redaksi
Redaksi Sabtu, 13 Juni 2020 20:00
Adnan Ariadi.
Adnan Ariadi.

Beberapa bulan terakhir kita hidup dengan berbagai model ketakutan. Media menampilkan data statistik kematian, ambulans berbunyi 24 jam, orang-orang mati di rumah sakit dalam kesepian, harga peti melambung tinggi dan setiap keluarga yang hanya bisa mendoakan sanak suadara/i mereka dari rumah. Semua ini kita alami dan akan terus menjadi bagian dari diri kita selama tahun-tahun yang akan datang.

Ternyata kejadian ini tidak hanya sampai di sini. Kita menemukan hal-hal ganjil lain yang akan kita rasa sebagai bagian yang menurut kita sebagai ketakutan baru. Jika dulu ketakutan diproduksi oleh negara kepada warga negara guna mengontrol perilaku populasi, hari ini kita menemukan ketakutan itu menubuh dalam diri warga negara.

Tulisan ini akan mengantarkan kita pada sebuah pertentangan geo-politik antara negara-negara maju yang sedang menjual vaksin mereka ke negara berkembang dengan dalil-dalil tertentu, problem ekonomi politik yang dialami oleh warga negara perihal ketakutan mati karena lapar daripada mati karena virus, atau problem bio-politik, dimana ringkihnya negara-negara dunia ketiga dalam mengambil sikap bagaimana mengatasi pandemi covid-19.

Hasil dari seluruh problematika itu adalah kita menemukan, mereka yang telah divaksin, tidak akan segan-segan mengejar orang-orang untuk melakukan vaksinasi. Orang-orang yang tidak vaksin dianggap negara sebagai individu yang tak patuh, individu yang tidak normal. Sedangkan mereka yang telah divaksin, tiba-tiba menjadi zombie, mengejar orang-orang sehat dengan berbagai dalil keamanan warga negara.

Tulisan ini juga akan memuat dua pertanyaan mendasar tentang fenomena vaksinasi belakangan ini; Pertama, Bagaimana wacana vaksinasi dioperasikan dan apa dampak dari seluruh variabel sistem kontrol tata dunia baru hari ini? Dan Kedua, Model Nasionalisme seperti apa yang selama ini kita terapkan dalam menghadapi pandemi Covid-19? Dua pertanyaan mendasar ini akan menjadi uraian pada runtutan setiap peristiwa di dalam proses kontrol negara maju atas negara berkembang, dan negara berkembang atas warga negara.

Wacana Vaksinasi: Siapa Berlari-Siapa Mengejar?

Kehadiran Covid-19 Selain menyebabkan ketakutan massal bagi masyarakat dunia, ia berubah menjadi jenis ketakutan baru dimana WHO-lah pembawa kabar bahwa “Sains telah kalah melawan virus.” Hal itu disampaikan oleh Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Menurutnya, varian corona saat ini memenangkan perlombaan melawan vaksin karena produksi dan distribusi vaksin tidak merata.

Perubahan varian yang tidak menentu menyebabkan terjadi kepanikan di tubuh WHO, sekaligus menjadi kepanikan dunia. Kepanikan itu berubah ketika seruan tentang 70% populasi dunia harus divaksin di satu sisi, namun di sisi lain menciptakan gejala ketimpangan ekonomi yang tajam. Negara-negara G-7 (Baca: Negara Maju) seperti Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat gencar berjanji akan mendistribusikan vaksin sebanyak 780 Juta dosis untuk vaksinasi di negara-negara G-20 yang memiliki peranan penting dalam pemulihan ekonomi.

Namun seperti yang kita ketahui, negara-negara seperti Indonesia yang notabene adalah negara berkembang, bukan tidak mungkin akan terus melakukan pinjaman ke luar negeri demi mewujudkan apa yang diamanatkan oleh badan kesehatan dunia. Di samping itu, Word Bank dan IMF akan terus menawarkan pinjaman dengan jaminan-jaminan tertentu atau bahkan bunga tertentu kepada setiap negara yang melakukan proses peminjaman.

Gagasan pemulihan ekonomi tentu disadari oleh negara-negara berkembang. Tetapi hal yang lain tentang pola kontrol global dalam wilayah kesehatan dan dilema ekonomi adalah sesuatu yang berbeda. Negara-negara G-7 tidak pernah menyerukan kemandirian dalam penemuan vaksin, atau persoalan lain yang berhubungan dengan bagaimana vaksinasi dikembangkan oleh negara-negara yang punya peradaban sains yang baik, ilmu kedokteran yang mumpuni dan ahli epidemiologi yang tidak sedikit.

Tetapi seperti ungkapan luhut binsar panjaitan dalam sebuah wawancara di podcast dedi cobuzer; Negara maju tidak akan pernah mau menginginkan negara berkembang menjadi negara maju. Asumsi paling dasar dari kalimat ini adalah, problem kesehatan dan perintah vaksinasi global tidak hanya menjadi problem kesehatan semata, melainkan juga problem kontrol negara maju atas negara berkembang, mulai dari hasrat konsumsi, ketergantungan ekonomi sampai pada rujukan pengetahuan.

Akibatnya, di Indonesia misalnya, antara warga negara kemudian mengalami penjarakan, membedakan yang sudah vaksin dan belum vaksin, kategorisasi antara warga negara yang baik dan bukan. Dan perdebatan antara pentingnya pentingnya menggunakan vaksin buatan dalam negeri atau vaksin impor dari negara-negara G-7.

Dilema kesehatan dan ekonomi ini memunculkan wacana tentang vaksinasi global. Negara-negara maju akan terus menggunakan segala cara; seperti sebuah CCTV, anda boleh berlari, tetapi kami punya segala cara untuk mengejar, mengontrol dan meminta anda melakukan apa yang kami ingin anda lakukan.

Keamanan Warga Negara dan Dilema Nasionalisme
Perdebatan tentang vaksin impor dan vaksin nusantara pada pertengahan April 2021 lalu bukan sekadar perdebatan tentang dilema akan kesehatan atau keamanan warga negara. Perdebatan itu menciptakan garis batas tegas antara pemilahan, mana nasionalisme dan mana bukan. Perdebatan itu membuat kita memahami bahwa, corona tidak hanya berdampak pada ekonomi dan kesehatan. Ia juga berdampak pada nasionalisme indonesia.

Status darurat yang diberikan pemerintah tentang penanganan covid-19 berusaha untuk diselesaikan oleh mantan mentri kesehatan RI, Terawan Agus Putranto dengan mengajukan vaksin nusantara sebagai solusi atas seluruh model tata kelola pandemi di Indonesia. Tetapi hal menyedihkan yang harus ia terima dari kelompok oligarki trans-nasional yang menyusup melalui berbagai tentakel yang mereka mainkan di institusi pemerintahan, menyebabkan dokter murah hati itu harus gigit jari karena kalah dalam perdebatan.

Gerakan nasionalisme oleh Dokter Terawan dan mantan mentri kesehatan di zaman SBY, ibu siti fadilah tidak dapat menembus kuatnya relasi tentakel global. Selain karena mereka hanya orang-orang kuat tanah air, dan hanya dengan semangat nasionalisme, tentu mereka tidak dapat melawan kuatnya arus balik dari pemberitaan media yang menyudutkan, serta impor vaksin yang telah menggelontorkan dana yang besar.

Tentakel media global dan oligarki trans-nasional tidak akan membiarkan semangat nasionalisme Suekarno kembali menyala di tengah situasi pandemi. Berbagai kontrol atas ketidakberdayaan untuk terus mendesain ketergantungan adalah cara yang selalu dipakai dalam setiap menghadapi problem bangsa.

Vaksinasi yang ditargetkan oleh Indonesia telah mencapai angka 91,1 juta untuk dosis pertama dan 32,6 untuk yang telah divaksin lengkap. Target ini memenuhi sasaran seperti yang disarankan oleh WHO. Namun di sisi lain, target ini tidak bisa dikesampingkan pula bahwa ada problem yang tidak pernah kita bicarakan secara tuntas adalah bagaimana kebergantungan dipakai sebagai alat untuk melihat level vaksin nusantara tidak lebih baik dari vaksin-vaksin yang telah diimpor pemerintah.

Problem vaksin nusantara yang telah lenyap dari percakapan publik ini justru tidak hanya memiliki muatan soal bagaimana menangani virus. Di dalam perdebatan vaksin nusantara, kita akan menemukan dilema ekonomi, dilema kesehatan, dilema nasionalisme dan dilema akan keamanan warga negara dipertentangkan.

Di satu sisi kita memahami konsep ekonomi politik global yang berusaha untuk terus mengawasi negara-negara maju seperti indonesia, di sisi lain, kita menemukan gejala berlari yang tak terlalu kencang, karena beberapa bagian dari tubuh kekuasaan disitir oleh pemodal, oligarki trans-nasional dan tentakel media global.

Penutup
Sejauh ini kita telah berkembang menjadi bangsa besar di satu sisi dan menjadi bangsa pelupa di sisi lain. Di tengah situasi pandemi, di tengah situasi Indonesia yang sedang tidak stabil, kita membutuhkan lebih daripada gerakan rakyat dan gerakan pemimpin yang memiliki semangat Soekarno.

Semangat kepemimpinan Suekarno, semangat Nasionalisme Soekorno dan pemahamannya akan geo-politik yang tergambar dengan baik dalam, “Di bawah bendera Revolusi (DBR I & II)” sangat dibutuhkan di tengah situasi bangsa semacam ini. Barangkali kita menganggap situasi ini normal, tetapi di samping itu, kita akan melihat krisis tampak di hadapan kita, kelompok rentan yang lebih takut lapar ketimbang virus, dan kaum miskin kota yang langgeng dari satu rezim ke rezim yang lain.

Kita membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin. Kita membutuhkan pemimpin dan penggerak yang tidak hanya menjadi bagian dari histeria massa, melainkan menjadi contoh pemimpin sebuah bangsa besar. Mengapa demikian? Untuk memastikan kita berlari, tanpa dikejar, atau terbang tanpa ditangkap, kita membutuhkan visi yang besar, ikatan yang kuat dan solidaritas nasional yang erat. Tentu saja dengan wacana warga negara yang hadir dari tubuh bangsa.

Tepat di wilayah itulah, kita tidak akan menganggap sesama warga negara yang belum divaksin sebagai Zombie, atau masyarakat lain sebagai pengganggu kemanan kelompok masyarakat yang lain. Untuk mengelola itu, kita membutuhkan tiga strategi kunci;

Pertama, Pendidikan
Pendidikan di Indonesia mestinya diarahkan pada pembebasan pikiran dan pendalaman ilmu saintifik. Dunia yang semakin bergerak ke arah teknologi, bukan mengharuskan kita menyembah pada teknologi. Sebaiknya gagasan tentang perjumpaan di lembaga pendidikan, dengan model pendekatan tentang ekonomi, kesehatan, bioteknologi dan nasionalisme perlu diberikan dalam lembaga pendidikan sejak dini.

Kedua, Kedaulatan Sumber Daya
Kedaulatan sumber daya tidak perlu melakukan sesuatu yang terkesan besar namun tidak memiliki dampak. Cukup perdayakan masyarakat petani di pedesaan dengan gagasan pertanian lahan terbuka atau ide tentang kedaulatan lautan dapat membantu indonesia menuju arah yang jauh lebih baik. Bagaimanapun, kedaulatan sumber daya dengan hak milik oleh petani, nelayan dan buruh jauh lebih penting daripada penanaman modal asing.

Ketiga, Nasionalisme Semangat nasionalisme yang dimaksud di sini bukan tes wawasan kebangsaan (TWK). Nasionalisme tidak perlu melalui jalur-jalur tes tertentu. Nasionalisme bisa diterapkan seperti apa yang selama ini Jepang lakukan yaitu dengan memperdengarkan lagu Indonesia raya setiap pagi. Asumsinya adalah, otak akan menangkap pesan melalui medan magnet sehingga menetap di kepala.

Jika dilakukan terus-menerus, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan generasi masa mendatang, lebih mengenal indonesia melalui pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Di satu sisi kita juga akan berhenti menciptakan zombie dan antek-antek global atau oligarki trans-nasional.

Penulis: Adnan Ariadi

Redaksi
Redaksi Sabtu, 13 Juni 2020 20:00
Komentar