Logo Header

Air Mata Matahari

Redaksi
Redaksi Minggu, 10 Maret 2019 14:44
Adnan Adriadi.
Adnan Adriadi.

Di depan kamera, seorang perempuan tua berusia enam puluh tahun bercerita tentang hidupnya. Tentang apa yang telah direbut darinya, tentang penantian yang setia ia geluti dari waktu ke waktu. Sebuah penantian yang seharusnya tidak ia lakukan lagi. Tetapi beberapa peristiwa penting telah membuatnya merasa harus melakukannya. Entah sebagai air mata, atau sebagai matahari.

Tak ada yang mampu menculik seorang perempuan dari kecintaannya pada pantai. Perempuan yang dingin, yang tegar dan yang telah siap ditinggalkan. Seperti desiran angin pantai dan gulungan ombak, tak ada yang benar-benar dapat menculik mereka dari sana.

Berwujud doa dan upaya, Mariam tahu bahwa ia akan setia berdiri di pinggir pantai menunggu kekasihnya kembali. Kekasih yang pernah pergi di suatu pagi yang tenang, pernah berlayar jauh meninggalkan pantai Makassar, mengenyam pendidikan jauh ke tanah Jawa.

Penantian adalah resiko, sedangkan kesepian adalah seumpama gunung menjulang tinggi, bertumpuk gelisah dan kekecewaan. Orang-orang seperti dirinya setia menikmati kesunyian. Keyakinan membuat Mariam tetap tegak berdiri, bahwa usia terus membawanya menuju dua puluh lima tahun, tak pernah membuatnya merasa bahwa ia harus lari dari kenyataan untuk berpaling pada lelaki lain.

Sejak terakhir kali bertemu pada tahun 1995, Abas berjanji akan mengirimkannya surat jika ia telah berada di sana. berjanji akan kembali menemuinya di Makassar jika ia telah menyelesaikan apa yang ingin ia kejar. Janji-janji yang membuat Mariam menunggu meski tanpa kejelasan. Entah melalui surat atau berita dari kawan.

Ia setia merawat ingatan masa mudanya, merawat seluruh hidupnya hanya untuk penantian yang baginya adalah cinta sejati. Cinta yang membuatnya merasa tak pernah benar-benar berhasil menjadi seorang perempuan merdeka. Di tengah gejolak sembilan delapan, Makassar menjadi salah satu kota dengan berbagai aktivitas politik yang luar biasa besar. Demonstrasi di mana-mana. Kehidupan Mariam jadi jauh lebih sulit. Ia tak lebih dari sekadar perempuan kesepian di tengah gejolak politik.

Pelariannya ke Bone karena berbagai kasus yang melibatkan keluarganya membuat ia harus menelan puas seluruh kesengsaraan dalam penantian. Sampai tiba waktu dimana Abas tak kunjung juga tiba di rumahnya, ia memutuskan pada suatu malam yang penuh air mata, bahwa ia siap dipinang oleh lelaki lain. Tetapi hal itu tak bertahan lama setelah pada suatu siang, sebuah kabar buruk tiba-tiba datang menghantuinya. Kabar buruk yang mengubah hidupnya menjadi seorang perempuan tua, mengenang kisah cintanya sepanjang hidup.

Ia menyendiri, merawat ingatannya akan peluru yang telah merebut kekasihnya dari seluruh penantian dan janji-janji. Hal yang tak pernah ia sangka, Abas, lelaki yang dicintainya lenyap di telan zaman, dilupakan sejarah dan dilupakan oleh seluruh dunia. Ia satu-satunya perempuan yang sampai hari ini setia berbicara mengenai Abas. Lelaki yang ia cintai, serupa pula matahari tengah hari berisi air mata.

 

Penulis: Adnan Adriadi

Redaksi
Redaksi Minggu, 10 Maret 2019 14:44
Komentar